Jumat, 16 Februari 2018

cerita seram hantu gentanyangan

Cerita Seram Horor Penampakan Hantu Gentayangan Meresahkan Warga

Beberapa waktu lalu, aku mengunjungi salah seorang kenalanku, namanya pak Sujana.Ia bertempat tinggal di salah satu kampung yang sunyi, termasuk ke dalam wilayah kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Bila datang ke sini rasanya sangat betah, karena hawanya begitu sejuk serta jauh dari kebisingan kota. Warganya pun sangat ramah tamah, termasuk kepada para pendatang.
Aku mengenal pak Sujana secara tidak disengaja. Waktu itu, aku dalam perjalanan ke Bandung, dan secara kebetulan di dalam bis duduk satu bangku dengan bapak berusia sekitar 55 tahun yang baru pulang dari Cirebon itu. Mulanya kami mengobrol akrab, dan ujung-ujungnya terjalin sebuah persahabatan yang erat.
Sejak itulah, aku sering datang dan menginap di rumahnya. Kali ini, aku tiba di kampung pak Sujana sekitar pukul 7 malam. Aku merasa heran sekali, keadaan kampung sudah begitu sepi. Padahal biasanya, hingga pukul 10 malam, masih nampak ramai apalagi kalau bulan sedang purnama.
Warung-warung sederhana pun kulihat sudah tak ada yang buka. Bahkan sampai kakiku tiba di pekarangan rumah yang dituju, tak bertemu dengan siapa pun dalam perjalanan. Dengan ragu, kuketuk pintu rumah pak Sujana sambil mengucapkan salam. Tak ada jawaban, apalagi orang yang membukakan pintu.
Aku mengulanginya sekali lagi, tetapi hasilnya sama saja seperti tadi anehnya, para penghuni rumah sepertinya belum tidur. Telingaku sempat menangkap suara suara bisikan halus dan dalam rumah. Namun tak jelas, entah apa yang sedang diperbincangkan.
Kupikir, pasti telah terjadi apa-apa. ,Kalau tidak, mengapa mereka enggan membukakan pintu untukku? Apakah pak Sujana dan keluarganya lupa kepada suaraku dan menyangka si pendatang adalah orang yang jahat?
Aku kian penasaran. Maka kucoba lagi mengetuk pintu seraya berkata dengan suara agak keras, “Pak, ini saya.Tolong pintunya segera dibuka.”
“Siapa diluar?” Terdengar jawaban dari dalam, jelas suara pak Sujana.
Dia seakan-akan ingin menegaskan dulu siapa sebenarnya yang hendak bertamu, sebelum membukakan pintu.
“Saya Mawan, dari Cirebon,” jawabku.
Kini dengan segera pintu dibuka. Ketika diketahui siapa yang datang, pak Sujana dan isterinya Iangsung menghampiti aku dan  merangkulku. “Duh Gusti, dikira siapa, ternyata Mawan. Jam berapa tadi dari Cirebon sehingga tiba disini malam hari?” tanya ibu Sukaesih, isteri pak Sujana.
“Dari sana tadi siang, tapi dibeberapa tempat ada kemacetan. Eh, ngomong ngomong, kenapa kampung ini jadi begitu sunyi kayak kuburan?” jawabku sambil balik bertanya.
“Oh, itu nanti akan saya jelaskan. Sekarang ayo kita masuk dulu,” jawab pak Sujana sambil menarik tanganku.
Setelah makan dan ngobrol ngalor ngidul melepas rasa kangen, aku kembali menanyakan kepada tuan rumah perihal kampung ini, yang tiba-tiba berubah begitu drastis layaknya sebuah kompleks pemakaman. Menurut penuturan pak Sujana, keadaan seperti ini telah berlangsung sejak tiga hari yang lalu. Tepatnya, sejak kematian Warsa (nama samaran), seorang pemuda warga setempat yang dianggap penganut ilmu sesat.
“Jenazah Warsa hanya dimandikan dan dikafani ala kadarnya, seterusnya dikuburkan begitu saja. Tidak dishalati, didoakan, dan lain-lainnya. Sebagaimana yang biasa dilakukan apabila seorang muslim meninggal dunia. Orang-orang menganggap bahwa jenazah Warsa tak boleh diurus secara Islami, karena menganut aliran sesat.
Saya sendiri memang tidak tahu seperti apa bentuk kesesatan ilmu Si Warsa itu. Tapi yang jelás, kami warga kampung ini, belum pernah melihat dia melakukan shalat dan berpuasa. Bahkan tadinya ada yang mengusulkan agar jenazah pemuda berusia 27 tahun ini langsung dikuburkan saja, tanpa perlu dimandikan dan dikafani lagi,” kata pak Sujana yang diamini oleh bu Sukaesih.
Menurut kisah pak Sujana selanjutnya, malamnya sekita jam 11-an, terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Tak lama kemudian, dari arah kuburan umum Situ Tarate, tempat jenazah Warsa dimakamkan, terdengar suara. .ceerrr.. .cek. . .ceeerrr.. Suara itu terus menerus terdengar, semakin lama semakin dekat dan akhirnya memasuki perkampungan.
Pengaruh dari suara tersebut sangat menakutkan, membuat siapa pun yang mendengarnya jadi merinding. Dengan suaranya yang sangat keras, hantu itu terbang diatas genting-genting rumah penduduk, dan baru berhenti sekitar pukul tiga pagi.
Keesokan harinya, seluruh warga kampung menjadi gempar. Mereka menceritakan teror hantu tersebut, dan semuanya meyakini bahwa hal itu ada hubungannya dengan kematian Warsa si penganut ilmu sesat.
Celakanya, sejak saat itu, sang hantu selalu mendatangi perkampungan dengan cara yang sama. Muncul pukul sebelas malam, kemudian lenyap sekitar pukul tiga pagi. Dan setiap kemunculannya, selalu diawali dengan suara lolongan anjing dari arah pemakaman umum Situ Tarate.
“Dengan adanya teror hantu itu, sudah tentu seluruh warga kampung benar-benar merasa sangat terganggu. Kalau malam hari, sulit untuk bisa memejamkan mata. Karena selain ketakutan, juga hantu tersebut suaranya sangat berisik ketika terbang berputar-putar mengitari perkampungan, melewati genting rumah para penduduk.
Selain itu, apabila tiba waktu maghrib, warga kampung tak ada lagi yang berani ke luar, kecuali sangat terpaksa. Jadi jangan heran bila terasa sangat sepi, dan saat kau tadi masuk kampung ini, tak menjumpai seorang warga pun berada diluar,” imbuh pak Sujana.
“Apakah warga disini tak melakukan upaya untuk mengatasinya?” tanyaku.
“Ya tentu saja ada, namun belum berhasil. Rencananya malam ini kami akan bermusyawarah lagi di rumah pak Dadang, kepala kampung, untuk mencari jalan keluar lainnya. Dan kuharap kau bisa ikut serta, siapa tahu bisa menyumbangkan pemikiran. Namun kalau kau tidak merasa kelelahan tentunya,” tegas pak Sujana.
“Baik pak, saya juga mau ikut.”
“Kalau begitu, bersiaplah. Sebentar lagi kita berangkat.”
Ketika kami dalam perjalanan menuju rumah pak Dadang, tiba-tiba pak Sujana berbisik, “Kebetulan sekali, sekarang ini Neng Lia sudah hampir seminggu ada di rumah. Kuliahnya sedang libur. Dia pasti kaget dan senang bertemu lagi denganmu.”
Mendengar itu, aku semakin bersemangat. Lia, adalah anak sulung pak Dadang yang sekarang menjadi mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Anaknya cantik, berkulit kuning langsat, dan bentuk tubuhnya sangat menarik. Sementara, sikapnya pun begitu ramah serta anggun. Aku pernah berkenalan dengannya beberapa waktu yang lalu, saat mengantar pak Sujana ke rumah pak Dadang.
Yang membuat jantungku jadi berdebar debar. Setiap aku main ke rumah pak Sujana dan kebetulan bertemu dengannya, Lia sering mencuri pandang dengan tatapan penuh arti. Bila aku kemudian membalas memandangnya dan Ia tak sempat menghindar, biasanya wajahnya langsung menunduk dan rona merah segera tampak pada pipinya yang berlesung pipit indah sekali.
Karena rumah pak Dadang tak begitu jauh, sebentar saja kami telah tiba. Di sini kulihàt telah banyak orang yang datang, mereka semuanya duduk di lantai berlapiskan karpet tebal. Aku dan pak Sujana pun segera duduk bergabung dengan yang lain.
Neng Lia kulihat ikut pula berkumpul bersama warga kampung. Dan Ia nampak sangat terkejut saat melihat kehadiranku. Namun sesaat kemudian, senyumannya langsung mengembang.
“Kapan datang dari Cirebon, Mas?” tanya Lia ketika menyodorkan air kehadapanku.
“Tadi, sekitar jam tujuh. Saya rindu ingin berjumpa dengan pak Sujana sekeluarga, serta rindu kepada jawabku dengan suara kian dikecilkan.
Meskipun kata-kataku tidak diteruskan, namun Neng Lia paham betul, siapa orang yang kurindukan selain pak Sujana. Ia nampak tersipu, matanya mengerling, dan pipinya yang halus seketika berubah menjadi agak memerah. Ah, cantik, sekali kau gadis Pasundan, bisik hatiku.
Tidak berapa lama kemudian, acara musyawarah dimulai. Salah seorang sesepuh kampung, pak Satan, berpendapat bahwa langkah awal yang harus ditempuh adalah mengintip keadaan pemakaman Situ Tarate di malam hari. Tujuannya untuk mengetahui dengan pasti, dari kuburan siapakah sebenarnya makhluk itu keluar. Bila hal itu sudah jelas, maka mengatasinya akan lebih mudah.
Semua yang hadir menyetujui apa yang dikatakan oleh pak Satan itu. Hanya masalahnya, sungguh tak mudah mencari seseorang yang bersedia datang ke kuburan di malam hari, apalagi dengan tujuan mengintip munculnya hantu. Setelah agak lama ditunggu, namun tak ada juga yang menyatakan kesiapannya, aku lalu meminta izin untuk ikut berbicara, dan pak Dadang pun mempersilahkannya.
“Para hadirin yang saya hormati, pertama-tama perkenalkanlah, saya adalah saudara pak Sujana dari Cirebon. Langsung saja kepada pokok persoalannya. Saya sependapat, bahwa kehadiran hantu itu memang jelas-jelas telah mengganggu ketenangan warga disini, dan tentu saja harus segera diatasi.
Kalau diizinkan, insya Allah malam ini juga, saya bersedia datang ke kuburan Situ Ta rate. Mohon maaf beribu maaf, saya juga sebenarnya bukan seorang pemberani. Tetapi persoalannya, kalau tidak ada yang berani melakukan seperti yang disarankan oleh pak Satan tadi, maka kita akan terus menerus diteror hantu tersebut.
Jadi sekali lagi, izinkanlah saya untuk melakukan tugas pengintipan itu,” kataku sambil mengedarkan pandangan kepada semua yang hadir.
Serentak semua orang yang hadir ditempat ini memandangku terkejut. Mereka mungkin tidak menyangka bahwa aku akan berkata seperti itu. Lebih-lebih pak Sujana dan Lia. Gadis cantik pemalu itu bahkan sampai menatapku lekat-lekat, dan pada wajahnya jelas tergambar rasa kekhawatiran akan keselamatanku.
“Para hadirin tenang-tenang saja. Percayalah, insya Allah saya tidak akan mengalami hal-hal yang tak diinginkan. Dan tentu saja, saya sangat mengharapkan doa dari semuanya. Semoga segala rencana kita dapat berjalan dengan baik,” sambungku.
Mereka akhirnya menyetujui usulku. Maka setelah mendapat penjelasan mengenai lokasi Pemakaman Situ Tarate dan ciri-ciri kuburan Warsa, malam itu juga sekitar pukul 10, aku pergi menuju tempat yang dimaksud dengan berbekalkan sebuah senter.
Orang-orang menyatakan bahwa akan setia menungguku di rumah kepala kampung, sampai aku kembali pulang. Sementara Neng Lia melepasku dengan tatapan sendu. Wajahnya yang cantik, masih tetap berselimutkan rasa cemas.
“Mas akan baik-baik saja, kan?” bisik Lia saat kakiku hendak mulai melangkah.
“Insya Allah, Neng. Jangan lupa doakan saya,” jawabku sambil tersenyum.
Setibanya ditempat tujuan, aku segera bersembunyi dibalik semak belukar yang cukup rapat sambil berkerudung kain sarung. Belum seberapa lama aku berada di tempat itu, tiba-tiba terdengar lolongan anjing dengan suara yang sangat keras. Seolah-olah mengucapkan selamat datang kepada hantu kuburan yang akan bergentayangan pada malam itu.
Seiring dengan itu, mataku kini semakin kutajamkan mengawasi kuburan yang berjejer didepanku. Namun tentu saja aku Iebih sering mengawasi makam Warsa, yang tampak lebih tinggi tanahnya karena masih baru.

Kumpulan cerita horor nyata hantu gentayangan terbaru

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba kulihat dari kuburan Warsa keluar asap, muIa-mula tipis kemudian menebal. Gumpalan asap tersebut diam mengambang sebentar di atas kubunan. Setelah itu, melesat kearah utara, ke perkampungan pak Sujana.
Tak lama, lalu tendengan suara cek.. cerrn.. .cek.. ,ceern..yang sangat keras. Aku tak sempat memperhatikan, apakah asap perwujudan hantu itu kemudian berubah menjadi sesosok menyeramkan, ataukah tetap seperti semula?
Sepeninggal hantu itu, aku segera mendekati, kuburan Warsa. Ternyata, pada bekas leluarnya asap tampak ada lubang seukuran ibu jan kaki. Aku sedikit heran, mengapa hantu itu meninggalkan bekas pada tanah yang notabene berada di alam nyata? Bukankah sebagai makhluk halus, ia bisa menembus tanah dengan begitu saja tanpa perlu meninggalkan bekas di tempat yang bukan alamnya?
Aku lalu bergegas pulang ke rumah pak Dadang. Orang-orang yang dengan setia menungguku, kelihatan sangat gembira melihat kehadiranku yang dalam keadaan tetap segar bugar. Pak Sujana bahkan sampai merangkulku, sementara Lia tanpa malu-malu memegangi tanganku sambil menanyakan ini dan itu.
Maka aku pun segera menceritakan apa yang baru kusaksikan di kuburan Situ Tarate. Malam itu juga, sesepuh kampung, pak Satan, menyiapkan bambu sebesar ibu jari kaki dengan panjang kira-kira 20 cm. Lalu ke bagian bawah batang bamboo dimasukkan segumpal kapas hingga mencapai bagian ruasnya. yang mampat.
Setelah itu, diletakkan tegak lurus diatas sehelai kain putih dengan panjang 80 cm dan lebar 10 cm. Kedua ujung kain kemudian diikatkan pada bagian ujung atas dan bambu tersebut. Setelah dibacakan doa oleh pak Satan, aku diperintahkan untuk kembali ke pemakaman umum Situ Tarate, untuk memasukan bambu itu ke lubang tempat keluarnya asap hantu. Aku pun diminta agar menunggu sampai si hantu masuk ke dalam perangkap, dan pulang ke rumah dengan membawa bambu itu kembali.
Ketika aku hendak melangkah, semua mata yang hadir menatap dengan harap harap cemas. Lia kulihat sampai meneteskan air mata karena dicekam oleh perasaan cemas yang luar biasa.
Ia khawatir kalau sampai hantu itu mengadakan perlawanan, kemudian aku menemui hal-hal yang tidak diinginkan. Aku mencoba menenangkannya, dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi.
Sudah hampir jam tiga pagi, saat aku tiba kembali di kuburan Situ Tarate. Suara hantu Warsa masih terus mengitari perkampungan, suaranya terdengar sayup sayup. Dengan sedikit tergesa-gesa, segera kumasukkan bambu perangkap beserta kain penyangganya, ke lubang tempat asap hantu tadi keluar.
Bagian atas bambu kuusahakan agar rata dengan tanah, sedangkan kedua ujung kain kuhamparkan dan kutimbun dengan tanati. Setelah itu, aku kembali ke tempat persembunyian, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Sekitar sepuluh menit kemudian,kudengar suara hantu Warsa memasuki areal pemakaman dengan suaranya yang nyaring. Aku berdebar-debar menunggu apa yang bakal terjadi sebentar lagi.
Kulihat hantu berbentuk asap itu berputar-putar diatas kuburan Warsa, terus menukik dan selanjutnya masuk ke dalam batang bambu yang telah kupasang. Aku segera mendekat dan langsung menyumpal lubang bambu bagian atas, dengan segumpal kapas yang telah disiapkan.
Setelah itu, kedua ujung kain penyanggap buru-buru kuikatkan kembali, lalu kutarik ke atas. Selanjutnya dengan setengah berlari, aku kembali pulang sambil membawa bambu berisi hantu warsa. Setibanya di rumah pak Dadang, semua orang menyambutku dengan gembira ketika mendengar bahwa aku telah berhasil memenjarakan sang hantu yang selama beberapa malam sempat menebar teror.
Pak Satan buru-buru mengambil bambu dan tanganku, kapas penutup bagian atasnya dilepaskan, kemudian membelahnya. Apa isinya? Ternyata darah! Ya, kapas yang diletakkan pada dasar bambu tersebut, kini berubah menjadi merah.
Semua yang hadir ditempat ini terbengong-bengong menyaksikan penistiwa yang benar-benar sangat langka itu. Mereka semuanya, termasuk aku tak ada yang menyangka sedikit pun bahwa hantu yang telah beberapa malam menteror kampung, ternyata bisa dijebak dengan batang bambu, dan berubah menjadi darah.
Yang agak sulit dijawab adalah, apakah kejadian ini ada hubungannya dengan kematian Warsa yang dianggap menganut ilmu sesat, ataukah hanya secara kebetulan? Artinya, kemunculan hantu tersebut kebetulan saja waktunya bersamaan dengan kematian Warsa, dan keduanya tak memiliki hubungan sama sekali.
Tetapi seandainya benar hanya sekadar kebetuIan belaka, kenapa biang teror ini keluarnya dari kuburan Warsa?
Warga kampung sendiri kebanyakan menganggap bahwa itu adalah benar benar hantu Warsa. Sementara pak Satan, yang menjadi “dalang” dari penangkapan hantu itu, sepertinya enggan memberikan keterangan Iebih jelas. Ia hanya mengatakan bahwa yang penting keadaan kampung sudah aman, dan mengenai asal-usul sang. hantu tak perlu terlalu dipersoalkan. Sebagai seorang sesepuh, kelihatannya ia memang cukup bijak dan hati-hati.
Keesokan harinya, kapas berdarah itu dikubur di pemakaman Situ Tarate oleh pak Satan, tempatnya di samping kuburan Wansa. Sebelumnya beliau terlebih dahulu membacakan doa-doa, yang diucapkan dengan suara cukup pelan.
Sejak itu, kampung pak Sujana kembali aman seperti sediakala, karena sang hantu menakutkan yang suaranya sangat keras itu tak pernah muncul lagi. Pada suatu hari, menjelang kepulanganku ke Cirebon, pak Dadang mengundang warga sekampungnya untuk makan bersama di rumahnya.
Aku pun tentu saja tak ketinggalan diundang, bahkan dianggap tamu khusus. Acara tersebut digelar sebagai ungkapan rasa syukur, karena keamanan kampungnya yang sempat terusik, kini telah kembali normal. Aku menyambut baik undangannya, dan seperti biasa, datang bersama pak Sujana.
Dalam acara itu, saat menyampaikan sambutan sederhananya, pak Dadang menyelipkan ucapan terima kasih khusus kepadaku, yang diangap telah berjasa membantu mengatasi teror hantu Warsa. Selanjutnya, setelah memanjatkan doa yang dipimpin oleh pak Satan, acara makan makan pun dimulai.
“Kasihan sekali, jauh-jauh dari Cirebon hendak berlibur mencari ketenangan, tapi malah harus berurusan dengan hantu,” kata Neng Lia yang makan bareng dan duduk berdampingan denganku.
Ia memang semakin akrab dan kini tak malu-malu lagi bila berdekatan denganku. “Bagi saya malah hikmahnya terasa sangat besar, Neng Lia,” jawabku sambil meraih pepes ikan mas.
“Hikmah bagaimana maksudnya, Mas?” tanya Neng Lia belum mengerti.
“Gara-gara teror hantu itu, saya jadi bisa lebih dekat lagi dengan seorang gadis desa yang sangat cantik dan anggun.”
“Siapa nama gadis itu, Mas?” Neng Lia pura-pura tidak tahu.
Aku tak segera menjawab, hanya tersenyum sambil merasakan lezatnya pepes ikan mas.
“Siapa gadis itu, Mas?” desak Neng Lia dengan suara manja.
“Siapa lagi kalau bukan anak sulung pak Dadang, yang sekarang sedang makan bersama saya,” jawabku mantap.
Meskipun apa yang akan kukatakan sudah dapat ditebak dengan mudah olehnya, namun saat mendengar jawabaku, gadis itu tetap kelihatan tersipu dan pipinya memerah. Ia lalu mengerlingkan matanya kepadaku, sementara pada bibirnya yang indah, nampak seulas senyuman manis.
Pak Sujana yang duduk tak jauh dariku dan diam-diam rupanya memerhatikan tingkah laku kami, nampak tersenyum senyum lalu berdehem penuh anti. Aku dan Neng Lia saling berpandangan, saling tersenyum, kemudian secara bersama sama pula kami saling menundukkan wajah. Ah, benar-benar romantis sekali. Sungguh! Akhirnya aku menemui seorang calon isteri yang kuidam-idamkan.